Manusia Makhluk Peneliti
Manusia Makhluk Peneliti
Keistimewaan manusia di
berikan akal pikiran menjadikan mereka menjadi makhluk peneliti, makhluk budaya
dan juga makhluk moral. Untuk itu pada
tulisan kali ini, penulis bertujuan untuk mengenalkan kepada pembaca sekalian mengenai
manusia makhluk peneliti, makhluk budaya dan juga makhluk moral. Allah
menurunkan wahyu pertama yaitu surah al-alaq ayat: 1-5. Dalam wahyu pertama
tersebut Allah memerintahkan kita sebagai umat muslim untuk senantia
menghabiskan waktu untuk membaca. Perintah Allah ini ketika kita
melaksanakannya dengan penuh suka cita maka pasti banyak sekali manfaat yang
akan di rasakan. Sayangnya, perintah Allah ini masih banyak manusia yang tidak
melaksanakannya dengan baik. Sehingga kerugianlah yang akan di dapat. Di
Indonesia saja, angka membaca masyarakat rendah sekali inilah yang menyebabkan
masyarakat Indonesia kalah jauh dengan masyarakat jepang. Padahal masyrakat
Indonesia notabennya merupakan penduduk beragama islam terbesar di dunia.
Berbeda hal nya dengan masyarakat jepang yang mayoritas bukan beragama islam.
Akan tetapi justru merekalah yang mengamalkan perintah membaca yang telah Allah
perintahkan. Sehingga masyarakat jepang dapat menikmati manfaat dari membaca
tersebut.
Padahal, pada zaman dahulu masyarakat muslim
jauh lebih maju daripada masyarakat non-muslim. Banyak sekali ilmuan-ilmuan
muslim yang menemukan berbagai macam penemuan yang tidak dapat di temukan oleh
non-muslim. Sayangnya, penemuan tersebut ada yang diakui sebagai penemuan
non-muslim padahal kenyataanya penemuan tersebut berasal dari muslim. Di antara
ilmuan muslim tersebut adalah Avicena (Ibnu Sina), Averous ( Ibnu Rusyd) dengan
berbagai penemuan yang telah di akui dunia. Untuk itu mari kita gerakkan budaya
membaca pada diri kita sendiri terlebih dahulu baru mengajak yang lain agar
kita dapat mengembalikan kejayaan islam yang sejak lama kita dambakan.
Prinsip dasar hidup muslim adalah “Setiap
melakukan sesuatu hendaknya harus bermanfaat, baik bagi kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat”. Prinsip dasar ini menjadi kerangka berfikir setiap muslim,
bahwa apapun yang dilakukan hendaknya memiliki orientasi dunia dan akhirat.
Prinsip ini selalu didengungkan karena prinsip inilah yang membedakan eksistensi
muslim dengan non muslim. Hal itu terlihat dari firman Allah: “Sesungguhnya
mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan
kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat)”. (Qs. Al Insaan, 76: 27)
Ayat ini dengan jelas menyebutkan bagaimana penyimpangan kepentingan sangat
akrab pada diri non muslim.
Hal ini akan sangat berimplikasi luas dalam
lapangan dan praktek kehidupan sehari-hari. Orang yang tidak memiliki perhatian
dan merasa tidak memiliki kepentingan dengan akhirat cenderung tak terkontrol
perilakunya. Prilaku tak terkontrol inilah yang sangat tidak dibenarkan dalam
Islam. Berbohong, berdusta, menghalalkan segala cara dalam penelitian telah
banyak dipraktekkan oleh peneliti. Tentu saja hal itu jauh dari kualifikasi
dapat disebut sebagai penelitian dan peneliti Islam. Perintah tegas bagi kaum
Muslim untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan akhirat dapat di baca
pada ayat “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (Qs. Al Jumu’ah, 62: 10)
Rasulullah Saw pun mengingatkan hal serupa
melalui sabdanya: “Kejarlah akhiratmu, tapi jangan lupakan bagianmu di dunia”. Bila
prinsip hidup muslim secara keseluruhan telah diketahui, maka dengan mengikuti
logika induktif, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa dalam dunia penelitian
pun demikian juga adanya. Artinya, bila dalam seluruh aspek kehidupan, seorang
muslim harus berorientasi dunia dan akhirat, maka demikian juga dalam bidang
penelitian. Sehingga penelitian Islam dapat dirumuskan sebagai penelitian yang
dilakukan sejalan dengan maslahat kaum Muslim dan sekaligus menangkal bencana
(mudharat) yang mungkin menerpa mereka.
Komentar
Posting Komentar